Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025: Api yang Menyala di Tengah Bahasa dan Luka
Tidak ada panggung yang lebih sunyi sekaligus gaduh dibanding malam Kusala Sastra Khatulistiwa 2025. Sunyi karena tak banyak yang peduli, gaduh karena gema kata-kata para pemenang terus merobek kepala mereka yang berani mendengar. Tahun ini, tiga obor menyala: Sasti Gotama dengan kumpulan cerpen Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu, Cicilia Oday dengan novel Duri dan Kutuk, dan Esha Tegar Putra dengan puisi Hantu Padang. Mereka bukan sekadar menulis—mereka menancapkan paku di dinding sejarah yang suka bergoyang.
![]() |
Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 |
Sasti Gotama menenun cerpen dari selembar kalimat kecil yang ia simpan di “bank premis”. Seperti catatan di laci gelap yang tiba-tiba meledak, ia menyalin kenyataan yang biasa lalu meledakkannya jadi cermin pecah.
Novel Duri dan Kutuk karya Cicilia Oday adalah lorong dengan dinding penuh serpihan kaca. Tak ada halaman yang aman, tak ada tokoh yang benar-benar selamat. Membaca novel itu seperti menelan duri dengan mulut terbuka: sakitnya nyata, tapi menolak untuk ditolak. Sedangkan Hantu Padang karya Esha Tegar Putra bukan puisi untuk berpelukan, melainkan jeritan yang menolak tidur. Puisi-puisi itu berkeliaran seperti arwah lapar, membisikkan bahwa masa lalu selalu bangkit dari tanah basah.
Apa arti semua ini? Kusala Sastra Khatulistiwa bukan lomba kecantikan kata. Ia lebih mirip palu godam. Sama seperti yang pernah digugat dalam Bahasa yang Mengguncang Tahta, karya-karya yang lahir dari penderitaan justru paling kuat mengetuk pintu kekuasaan.
Keadilan dan sejarah selalu dipelintir. Jika ragu, lihatlah Sejarah Boneka Kayu di Tangan Penguasa. Dari situlah kita tahu: penulis adalah saksi yang menolak disuap. Sama juga dengan Keadilan yang Diletakkan di Sila Kelima, sastra adalah cara lain menagih janji yang selalu digantung di udara.
Pemenang sejati tahun ini mungkin bukan nama-nama di panggung itu. Pemenang sejati adalah para pembaca yang berani menghuni teks, membiarkan luka menetes di kening, lalu bangkit dengan kesadaran baru. Karena membaca karya-karya itu bukan hiburan—melainkan pertarungan dengan cermin yang tidak pernah bisa kita pecahkan.
Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 pun selesai, tapi kata-kata yang lahir darinya akan terus berkeliaran. Ia menolak dibungkam, ia menolak diam. Ia akan terus hidup di rak buku, di ruang diskusi, di kepala anak-anak muda yang menolak manut.
#KusalaSastraKhatulistiwa2025 #SastraIndonesia #SastiGotama #CiciliaOday #EshaTegarPutra #PenghargaanSastra #NyastraBlog
Posting Komentar untuk "Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025: Api yang Menyala di Tengah Bahasa dan Luka"