Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SEJARAH, BONEKA KAYU DI TANGAN PENGUASA

Ada kata yang tampak suci, seakan tak bisa disentuh: sejarah. Ia diajarkan di kelas-kelas dengan nada sakral, dengan peta, tanggal, nama tokoh, dan peristiwa yang dipaku seolah kebenaran tak terbantahkan. Tetapi sesungguhnya, sejarah lebih mirip tubuh mayat yang sudah didandani: wajahnya dipoles, luka ditutupi bedak, darahnya dilap, seakan-akan ia mati dengan tenang. Padahal kita tahu, ada jejak kuku, ada lebam, ada bekas cekikan yang sengaja disembunyikan.

Sejarah tidak pernah netral. Ia selalu ditulis oleh mereka yang berhasil duduk di kursi pemenang. Pena bukan hanya alat catat, tetapi juga pedang yang menghapus. Nama yang layak dikenang bisa dinaikkan ke langit, sementara nama lain dihapus dari buku teks, seolah tak pernah lahir. Kita lalu membaca sejarah bukan sebagai kebenaran, melainkan sebagai propaganda yang telah dipoles rapi.

SEJARAH, BONEKA KAYU DI TANGAN PENGUASA
Tinta Sejarah

Bayangkan sebuah bangsa yang berdiri di atas luka. Darah sudah kering, tetapi teks resmi berkata: “Itu demi persatuan.” Tangisan sudah lama hilang, tetapi pidato menyebutnya: “Itu demi kemajuan.” Sejarah yang seharusnya menjadi cermin jujur, malah dipaksa menjadi etalase yang hanya menampilkan wajah cantik kekuasaan.

Anak-anak dipaksa menghafal narasi tunggal, seperti doa tanpa iman. Film diputar, buku wajib dibaca, pelajaran diulang-ulang. Dan mereka tumbuh dengan kepala penuh versi resmi, tetapi kosong dari pertanyaan. Inilah yang disebut: sejarah dibelokkan dengan sengaja. Bukan untuk menerangi, melainkan untuk menutupi.

Namun, sejarah sejati tidak bisa dikubur selamanya. Ia merembes seperti air dari tanah retak. Ia muncul dalam bisik-bisik keluarga, dalam catatan pinggir, dalam arsip yang disembunyikan, dalam cerita samar dari nenek yang takut bersuara keras. Di situlah kita sadar: ada dua sejarah. Sejarah resmi, yang dipamerkan dengan gagah. Dan sejarah bayangan, yang berjalan pincang tapi tetap hidup.

Bahaya terbesar dari sejarah yang dibelokkan adalah amputasi ingatan. Bangsa yang ingatannya terpotong hanya bisa berjalan dengan satu kaki. Ia bisa berlari sebentar, tapi cepat atau lambat ia akan tersungkur, tersandung oleh luka yang tak pernah diakui.

Sejarah seharusnya bukan sekadar catatan kemenangan, bukan pula sekadar pengadilan yang menunjuk siapa benar siapa salah. Ia seharusnya jadi ruang terbuka untuk melihat luka, menerima kompleksitas, mendengar semua suara—bahkan suara yang membuat kita tidak nyaman.

Tetapi, siapa yang berani? Sebab sejarah yang jujur selalu berbahaya. Ia bisa meruntuhkan mitos. Ia bisa merobek topeng. Ia bisa membuat penguasa kehilangan singgasananya. Maka sejarah pun dikurung, dipoles, dijadikan dongeng manis, lalu dihidangkan sebagai pelajaran wajib.

Dan kita, generasi pewaris, hanya bisa bertanya dalam hati: apakah kita benar-benar mengenal masa lalu kita? Atau kita hanya sedang menatap cermin retak yang sengaja digosok sampai silau, agar kita tak sempat melihat darah yang masih menempel di bingkainya?

Sejarah bukan buku, bukan arsip, bukan tumpukan dokumen berdebu. Ia adalah makhluk. Dagingnya dari ingatan, tulangnya dari peristiwa, nadinya dari darah manusia yang pernah tumpah. Ia hidup, bernapas, menatap kita dengan mata yang sulit ditentukan: apakah mata saksi, atau mata hantu?

Tetapi, di tangan penguasa, sejarah diperlakukan seperti boneka kayu. Wajahnya dipahat ulang, matanya dilukis dengan cat palsu, mulutnya dijahit agar hanya bisa mengucapkan satu kalimat: “Pemenanglah yang benar.” Tali-tali ditarik dari balik panggung, dan sejarah pun menari sesuai musik yang dimainkan. Penonton—kita semua—terpukau, seakan itulah kebenaran sejati.

Padahal, di balik panggung, tubuh asli sejarah meraung. Ia penuh luka, penuh jeritan, penuh nama yang sengaja dihapus dari naskah. Tetapi jeritan itu tidak pernah sampai ke telinga kita, karena pengeras suara dikuasai oleh mereka yang menulis ulang skenario.

Ada bangsa-bangsa yang mengurung sejarahnya di penjara besi. Setiap kali ada suara kecil mencoba keluar, mereka segera menutup mulutnya dengan stempel: “Itu fitnah. Itu pengkhianatan. Itu subversif.” Begitulah sejarah diubah menjadi monster jinak, anjing penjaga kekuasaan, bukan lagi cermin jujur bagi generasi.

Namun, sejarah sejati tidak pernah mati. Ia seperti hantu yang menolak dimakamkan. Ia menunggu di lorong gelap arsip rahasia, ia berbisik di telinga para saksi tua yang masih hidup, ia mengalir di cerita lirih anak-cucu yang mendengar kisah terlarang di ruang tamu kecil. Sejarah bayangan ini berkeliaran, mengganggu tidur para pemegang kuasa, karena mereka tahu: suatu saat, tali boneka akan putus, cat akan luntur, dan wajah asli sejarah akan menyeruak ke panggung.

Pertanyaannya: apakah kita siap menatap wajah itu? Wajah tanpa make-up propaganda, wajah dengan luka terbuka, wajah yang menatap kita balik dan berkata: “Kalian semua adalah pewaris kebisuan.”

Mungkin inilah tragedi kita: kita diajari mencintai sejarah yang telah dibengkokkan, tetapi takut pada sejarah yang sebenarnya. Kita lebih suka menonton boneka kayu yang menari indah, daripada menatap makhluk berdarah yang berteriak minta diakui.

Dan selama itu terjadi, bangsa ini akan terus hidup di dalam teater bayangan, menonton pertunjukan yang diatur tali, sambil pura-pura lupa bahwa di luar panggung ada mayat yang belum dikubur dengan benar.

Bayangkan sejarah sebagai dewa purba, lahir dari jerit ribuan jiwa, dari darah yang membasahi tanah, dari doa yang tidak pernah selesai. Dewa ini mula-mula gagah, dengan tubuh dari cahaya dan bayangan, membawa semua versi kebenaran di kedua tangannya. Tetapi manusia, seperti biasa, tidak tahan dengan kompleksitas. Mereka ingin kepastian. Mereka ingin hanya satu wajah. Maka dewa itu ditangkap, dirantai, lalu diseret ke altar politik.

Di sana, para penguasa menyembelihnya. Mereka memotong satu tangannya, agar tak ada versi lain yang bisa ditawarkan. Mereka mencungkil salah satu matanya, agar hanya satu arah pandang yang terlihat. Mereka melumuri tubuhnya dengan dupa propaganda, agar baunya harum meski busuk. Dan dari sisa tubuh yang sudah rusak itu, lahirlah sejarah resmi—sebuah dewa yang sudah kehilangan roh, dipaksa duduk diam sebagai patung di halaman negara.

Namun, roh asli sejarah tidak ikut mati. Ia lolos dari altar, berlari dalam bentuk iblis yang tak bisa dipenjarakan. Iblis itu menyelinap ke dalam mimpi para saksi, berbisik di telinga anak-anak yang mendengar cerita gelap dari neneknya, menampakkan diri dalam dokumen yang ditemukan di lemari berdebu. Iblis sejarah ini gentayangan, tak pernah lelah menghantui mereka yang pernah mengkhianatinya.

Kita lalu hidup dalam dunia dengan dua wajah sejarah. Satu wajah adalah patung yang kita hormati di ruang kelas, wajah yang dipoles, dipuja, dijadikan kitab suci oleh negara. Wajah satunya adalah iblis yang berkeliaran, wajah yang retak, penuh luka, tetapi jujur.

Tragedi terbesar kita adalah ketakutan. Kita lebih memilih menyembah patung mati, ketimbang berani menatap iblis yang membawa cermin. Padahal, iblis itu tidak menawarkan kutukan. Ia hanya menawarkan kebenaran yang pahit: bahwa sejarah adalah kumpulan manusia, bukan sekadar pahlawan atau pengkhianat; bahwa luka itu tidak satu arah, melainkan berlapis-lapis; bahwa menutup versi lain sama saja dengan mengutuk generasi mendatang berjalan buta.

Dan selama kita takut membuka mata, altar politik akan terus menerima korban. Bukan hanya sejarah yang dikorbankan, tapi juga ingatan kita sendiri. Kita semua menjadi umat yang rajin berdoa pada patung kosong, sementara roh dewa yang sejati terus menjerit di luar kuil, menunggu ada yang berani memanggil namanya kembali.

Posting Komentar untuk "SEJARAH, BONEKA KAYU DI TANGAN PENGUASA"