Bahasa yang Mengguncang Tahta
Di sebuah ruang rapat yang sumpek, kata-kata berjatuhan seperti peluru. Tidak ada darah yang mengalir, tidak ada pedang yang terhunus, tetapi suasana di ruangan itu jauh lebih tegang daripada medan perang. Kata-kata, dengan irama yang tertata, dengan pilihan bunyi yang tegas, perlahan meruntuhkan kepercayaan terhadap seorang pemimpin. Dan dari ketidakpercayaan itulah, kekuasaan mulai retak.
Aku sering merenung: apa yang sesungguhnya membuat bahasa begitu berbahaya?
Apakah ia sekadar serangkaian huruf yang dirangkai dengan rapi? Atau ada
sesuatu yang lebih halus—sebuah sihir yang mampu menyentuh keyakinan paling
dalam, lalu mengubah manusia dari pendukung menjadi penentang?
![]() |
Esai S. Herianto |
Bahasa sebagai Senjata Tak Kasat Mata
Sejarah penuh dengan kisah di mana bahasa mengguncang tahta. Dari
pamflet-pamflet kecil yang dibagikan diam-diam di jalanan, hingga orasi megah
di lapangan luas, bahasa bekerja dengan cara yang sama: menanamkan keraguan,
menumbuhkan harapan, atau menyulut kemarahan.
Di Prancis abad ke-18, kata-kata dalam brosur Revolusi menyerukan
kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Kata-kata itu sederhana, namun daya
ledaknya melampaui meriam. Ia menumbangkan rezim yang selama berabad-abad
tampak tak tergoyahkan.
Di sisi lain, abad ke-20 memberi kita contoh bagaimana bahasa juga bisa
dipakai untuk memanipulasi, membius, bahkan membutakan. Propaganda rezim
totaliter memelintir bahasa menjadi alat yang meredam nalar, mengganti
kenyataan dengan ilusi yang menguntungkan penguasa.
Bahasa, rupanya, adalah senjata ganda. Ia bisa membebaskan, tapi juga
bisa menindas.
Bahasa sebagai Opini yang Ditancapkan
Opini tidak datang dari ruang hampa. Ia lahir, tumbuh, dan melekat lewat
bahasa. Setiap slogan, setiap tajuk berita, setiap pidato pejabat—semua
menyusup ke dalam kesadaran publik, memengaruhi cara orang memandang dunia.
Aku ingat satu percakapan sederhana dengan seorang
kawan:
“Kenapa kau benci tokoh itu?” tanyaku.
“Karena media bilang dia korup,” jawabnya.
“Apakah kau pernah melihat sendiri?”
Ia terdiam.
Di situlah aku sadar: sering kali kita tidak membenci orang, melainkan
membenci kata-kata yang menempel pada orang itu. Opini dibentuk bukan oleh
pengalaman langsung, melainkan oleh bahasa yang terus-menerus diulang, diperdengarkan,
dipaksakan.
Bahasa menancapkan opini layaknya paku di dinding. Semakin sering
dipukul, semakin dalam ia masuk, dan semakin sulit dicabut.
Bahasa dalam Kekuasaan
Penguasa memahami betul kekuatan bahasa. Itulah sebabnya setiap rezim,
sekuat atau selemah apa pun, selalu berusaha mengendalikan narasi. Mereka ingin
menentukan kata mana yang boleh dipakai, kata mana yang tabu, bahkan kata mana
yang harus hilang dari kamus.
Bahasa yang dikendalikan berarti pikiran yang dikendalikan. Jika rakyat
hanya mengenal kata “damai” untuk menggambarkan diamnya kota, maka mereka tidak
punya kata untuk menyebut “penindasan.” Jika rakyat hanya mengenal kata
“pembangunan” tanpa boleh menyebut “penggusuran,” maka luka mereka akan
kehilangan nama.
Ketika bahasa direbut kembali oleh rakyat, itulah awal dari perlawanan.
Kata-kata yang dilarang muncul di pamflet bawah tanah, di bisikan rahasia, di
lagu yang dinyanyikan lirih. Lambat laun, kata-kata itu kembali menjadi milik
bersama, dan penguasa kehilangan monopoli atas makna.
Bahasa yang Menggulingkan
Aku teringat sebuah momen: sebuah pidato di lapangan luas, ribuan orang
berdesakan, udara penuh teriakan. Kata-kata pemimpin oposisi menggema, kalimat
demi kalimat memecahkan kebisuan.
Tidak ada peluru, tidak ada bentrokan fisik. Tetapi ribuan kepala
mengangguk bersamaan, ribuan hati tergerak oleh kalimat yang sama. Itulah detik
ketika kekuasaan yang mapan mulai runtuh, meskipun istana masih berdiri kokoh.
Kekuasaan, ternyata, bukan hanya tentang senjata dan uang. Ia juga
tentang keyakinan. Dan bahasa adalah jalan tercepat untuk meruntuhkan keyakinan
itu.
Bahasa sebagai Luka dan Harapan
Namun bahasa bukan hanya alat oposisi. Ia juga bisa melukai orang-orang
yang lemah. Fitnah yang berulang bisa menghancurkan reputasi seseorang. Label
yang salah bisa mengasingkan kelompok tertentu. Sering kali, luka akibat kata
lebih sulit sembuh daripada luka fisik.
Tetapi di sisi lain, bahasa juga mampu memberi harapan. Satu kalimat
sederhana—“Aku bersamamu”—bisa membuat seseorang bertahan dalam
penderitaan. Kata-kata penyair, meski tak menjatuhkan pemerintahan, bisa
memberi napas pada mereka yang hampir putus asa.
Bahasa tidak pernah netral. Ia selalu membawa arah: ke luka, atau ke
harapan; ke tirani, atau ke kebebasan.
Bahasa di Era Media
Kini, ketika media sosial menjadi panggung baru, bahasa lebih cepat
bergerak daripada sebelumnya. Satu kalimat bisa viral dalam hitungan detik,
menancapkan opini pada jutaan orang tanpa sempat diverifikasi.
Seorang presiden bisa kehilangan legitimasi hanya karena sebuah tagar.
Sebaliknya, seorang tokoh bisa naik menjadi pahlawan karena potongan kalimat
yang dipoles menjadi slogan.
Kekuasaan tidak lagi hanya soal siapa yang memegang senjata, melainkan
siapa yang menguasai narasi. Di era ini, kata yang salah bisa lebih berbahaya
daripada peluru.
Bahasa dan Kepekaan Kemanusiaan
Lalu, di tengah derasnya arus opini, bagaimana kita menjaga kepekaan
kemanusiaan?
Mungkin dengan kembali pada kesadaran sederhana: bahwa bahasa bukan
sekadar alat politik, tapi juga jembatan antar manusia. Ketika bahasa dipakai
untuk membela martabat, untuk menyuarakan keadilan, untuk mengingatkan kita
pada kemanusiaan yang sama, maka bahasa menjadi cahaya.
Tetapi ketika bahasa dipakai hanya untuk menipu, untuk memecah, untuk
membakar kebencian, maka bahasa menjadi senjata gelap yang menumpahkan luka tak
kasat mata.
Bahasa yang Tak Pernah Mati
Kekuasaan bisa jatuh, penguasa bisa berganti, tetapi bahasa selalu
bertahan. Kata-kata yang lahir dari mulut orang biasa sering kali lebih abadi
daripada dekrit resmi pemerintah. Sejarah mencatat pidato, pamflet, puisi, dan
lagu yang mampu menggulingkan rezim, sementara catatan resmi kekuasaan terhapus
begitu penguasa tumbang.
Bahasa, dengan segala kelembutannya, ternyata lebih kuat daripada besi.
Ia bisa menancapkan opini, menggoyahkan keyakinan, dan pada akhirnya
mengguncang tahta.
Dan mungkin, dari seluruh kekuatan itu, pelajaran paling penting adalah:
kita harus berhati-hati dengan kata yang kita ucapkan. Sebab setiap kata,
sekecil apa pun, bisa menjadi percikan api yang membakar sebuah istana—atau
sebaliknya, menjadi cahaya kecil yang menjaga dunia tetap manusiawi.
Aku menutup catatan ini dengan satu kesadaran: bahasa adalah medan
pertempuran yang paling sunyi, namun paling menentukan. Ia tidak berdarah, tapi
bisa meruntuhkan dinasti. Ia tidak berwajah, tapi bisa menanamkan harapan. Dan
bagi kita, yang hidup di tengah hiruk pikuk opini, mungkin tugas terpenting
adalah menjaga agar bahasa tetap setia pada kebenaran—karena hanya dengan itu,
bahasa bisa benar-benar menjadi alat untuk membebaskan, bukan menindas.
Post a Comment for "Bahasa yang Mengguncang Tahta"