Manusia sebagai Kalimat yang Belum Selesai
Bahasa tidak pernah berhenti hanya sebagai alat komunikasi. Ia adalah pusaka yang diwariskan manusia sejak ribuan tahun lalu, bukan sekadar untuk menyampaikan maksud, melainkan juga untuk membentuk sifat, membangun karakter, bahkan menentukan arah sejarah. Kata-kata tidak sekadar keluar dari bibir, tetapi masuk ke dalam jiwa, menetap di sana, lalu tumbuh menjadi sifat yang melekat dalam diri manusia.
Pertanyaannya, mungkinkah sifat manusia yang sering dianggap bawaan
lahir sebenarnya hanya hasil dari bahasa yang terus-menerus ditanamkan?
![]() |
Karya: S. Herianto |
Lidah Sebagai Pedang dan Obat
Pepatah lama mengatakan: lidah lebih tajam daripada pedang.
Pedang hanya bisa melukai tubuh, sedangkan lidah dapat merobek hati, mengubah
tabiat, bahkan meruntuhkan semangat hidup. Seorang anak yang sejak kecil
dipanggil “bodoh” akan membawa luka itu sepanjang hidupnya. Kata itu meresap ke
dalam kesadarannya, mengubah keberanian menjadi ketakutan, dan mengubah
keingintahuan menjadi keraguan.
Sebaliknya, seorang anak yang kerap mendengar kata “berani” akan tumbuh
dengan keyakinan bahwa ia memang pemberani. Kata itu menjadi jubah yang ia
kenakan setiap hari, dan jubah itu membentuk sifatnya: berani mencoba, berani
gagal, berani melawan ketidakadilan.
Bahasa, dengan demikian, adalah obat sekaligus racun. Ia bisa menguatkan
atau menghancurkan, bisa melembutkan atau mengeraskan sifat manusia.
Bahasa Cinta dan Bahasa Benci
Aku teringat pada dua sahabatku. Yang pertama tumbuh di rumah yang penuh
caci maki. Ia sering mendengar kata “gagal,” “tak berguna,” “menyusahkan.”
Kata-kata itu menempel seperti noda, membuatnya tumbuh menjadi orang yang
sinis, mudah marah, dan sulit mempercayai orang lain.
Sahabat yang lain tumbuh di rumah yang sederhana, tetapi setiap pagi
ibunya selalu berkata, “Nak, kamu cahaya hidupku.” Kata sederhana itu
membuatnya merasa berarti. Ia tumbuh dengan sifat penuh kasih, selalu ingin
memberi cahaya pula pada orang lain.
Bahasa cinta melahirkan sifat yang lembut, sementara bahasa benci menanamkan
duri yang mengubah jiwa menjadi keras. Inilah bukti bahwa sifat manusia tidak
hanya dibentuk oleh darah dan gen, tetapi juga oleh kata-kata yang setiap hari
ia dengar.
Jejak Bahasa dalam Sejarah Bangsa
Sejarah manusia juga mencatat kekuatan bahasa yang mengubah sifat suatu
bangsa.
Di masa kolonial, rakyat Nusantara dipanggil dengan sebutan inlander—sebuah
kata yang merendahkan, menegaskan bahwa mereka tidak lebih dari kelas kedua.
Kata itu masuk ke telinga rakyat setiap hari, dan lambat laun membentuk sifat
tunduk, minder, serta takut menatap mata penjajah. Sifat itu bukanlah kodrat,
melainkan hasil cuci otak linguistik.
Namun, ketika kata-kata baru diperkenalkan—merdeka, bangsa, tanah air—sifat
rakyat pun berubah. Orang-orang yang semula penurut mulai berani melawan.
Mereka berteriak lantang “Merdeka!” dan kata itu menyalakan sifat baru:
keberanian, keteguhan, bahkan pengorbanan jiwa. Bahasa, sekali lagi, bukan
hanya simbol, melainkan sulap yang bisa mengubah sifat kolektif manusia.
Bahasa Agama: Menyucikan atau Membakar
Bahasa agama adalah pedang bermata dua.
Di satu sisi, ia bisa menumbuhkan sifat penyayang, sabar, rendah hati.
Seorang pendeta, kyai, atau biksu yang berkata “kasihilah sesamamu” mampu
mengubah umatnya menjadi pribadi yang penuh empati.
Tetapi di sisi lain, bahasa agama juga bisa dipelintir untuk menumbuhkan
sifat keras, curiga, bahkan beringas. Kata-kata seperti “musuh,” “sesat,” atau
“kafir” bila terus digemakan bisa merasuk ke jiwa, membuat orang yang lembut
berubah menjadi sosok penuh amarah.
Sifat manusia, dalam hal ini, bisa berubah sesuai bahasa yang dipilih
untuk dikhotbahkan. Bahasa agama seharusnya menjadi cahaya, tetapi ia juga bisa
berubah menjadi api yang membakar, tergantung siapa yang memegang obor.
Propaganda dan Bahasa Kekuasaan
Tidak ada contoh yang lebih jelas tentang bahasa yang mengubah sifat
manusia selain propaganda.
Nazi Jerman menggunakan kata “ras murni” untuk membentuk sifat
kebanggaan sekaligus kebencian pada bangsa lain. Uni Soviet menggunakan istilah
“musuh rakyat” untuk membuat warganya saling mencurigai.
Bahasa dalam propaganda tidak hanya memberi informasi, tetapi juga
membentuk sifat kolektif: sifat patuh, sifat benci, sifat rela mati demi
pemimpin.
Di dunia modern, iklan pun adalah bentuk lain dari propaganda halus.
Kata-kata seperti “keren,” “gaul,” atau “trendi” mampu mengubah sifat konsumtif
generasi muda. Mereka merasa harus membeli barang tertentu untuk dianggap
layak.
Bahasa tidak lagi netral; ia adalah senjata yang membentuk cara berpikir,
merasa, bahkan cara bersifat.
Bahasa di Ruang Kecil: Keluarga dan Sekolah
Namun, bahasa tidak hanya bekerja di panggung politik besar. Ia hidup di
ruang-ruang kecil: keluarga, sekolah, komunitas.
Seorang guru yang berkata “kamu malas” bisa menanamkan sifat minder pada
murid. Tetapi guru yang berkata “aku tahu kamu bisa lebih rajin” bisa
menumbuhkan sifat optimis.
Di rumah, seorang ayah yang berkata “saya bangga padamu” mampu membentuk
sifat percaya diri pada anak. Namun ayah yang setiap hari berkata “kamu
menyusahkan” menanamkan sifat putus asa.
Bahasa di ruang kecil sering kali justru lebih menentukan sifat manusia
dibandingkan bahasa di podium politik. Sebab kata-kata di rumah dan sekolah
diulang setiap hari, menjadi latar yang membentuk karakter sejak dini.
Filsafat Bahasa dan Sifat Manusia
Apakah dengan demikian sifat manusia hanyalah pantulan bahasa?
Pertanyaan ini menuntunku pada refleksi yang lebih dalam.
Bahasa adalah jendela menuju diri. Apa yang kita dengar dan kita ucapkan
setiap hari perlahan mengendap menjadi keyakinan. Keyakinan itu lalu mengeras
menjadi sifat. Jika demikian, sifat manusia bukanlah batu karang yang abadi,
melainkan pasir yang bisa digeser angin kata.
Manusia yang lembut bisa menjadi bengis jika setiap hari ia dijejali
bahasa kebencian. Manusia yang keras bisa menjadi penyayang jika ia mendengar
bahasa pengampunan. Bahasa adalah kunci yang bisa membuka atau menutup pintu
sifat.
Kata yang Menyembuhkan
Aku percaya ada kata yang mampu menyembuhkan sifat yang retak.
Seseorang yang terbiasa hidup dalam caci maki bisa luluh ketika ada yang
berkata padanya: “Aku percaya kamu bisa berubah.” Kata itu sederhana,
tetapi mampu menyalakan harapan baru.
Begitu pula seseorang yang keras kepala bisa melembut ketika mendengar
kata maaf yang tulus. Kata itu bisa menghapus sifat dendam yang telah lama
bersarang.
Ada sifat yang lahir dari luka bahasa, dan ada sifat yang sembuh karena
kata yang benar.
Bahasa Digital dan Sifat Manusia Modern
Di era digital, bahasa berkelana lebih cepat daripada sebelumnya. Satu
komentar di media sosial bisa mengubah sifat seseorang seketika.
Seorang remaja yang mendapat komentar “kamu jelek” bisa berubah menjadi
minder sepanjang hidup. Sebaliknya, komentar “kamu berbakat” bisa menumbuhkan
sifat percaya diri yang melahirkan karya.
Bahasa digital sering kali lebih berbahaya karena tersebar tanpa filter,
dibaca jutaan orang, dan menancap ke dalam jiwa tanpa bisa dihapus. Dunia maya,
dengan segala kata yang meluncur di dalamnya, adalah pabrik baru pembentuk sifat
manusia.
Manusia Sebagai Bahasa yang Hidup
Pada akhirnya, aku menyadari bahwa manusia adalah bahasa yang berjalan.
Sifat kita adalah hasil dari kata-kata yang pernah kita dengar, ucapkan, dan
percayai.
Jika kita ingin mengubah sifat manusia, tidak cukup hanya dengan hukum
atau senjata. Kita harus mengubah kata-kata yang beredar di rumah, sekolah,
masjid, gereja, media, dan panggung politik.
Bahasa adalah benih sifat. Dan dari sifat itulah nasib manusia, bahkan
nasib sebuah bangsa, ditentukan.
Maka berhati-hatilah dengan kata-kata. Sebab di balik setiap kalimat,
ada kemungkinan sifat manusia berubah—menjadi lebih baik, atau justru
sebaliknya.
2 komentar untuk "Manusia sebagai Kalimat yang Belum Selesai"