Ketika Kata Berselimut Doa
Di sebuah mimbar kecil, suara berkumandang: lembut di awal, meninggi di tengah, menggema di akhir. Kalimat-kalimat itu penuh dengan ayat, penuh dengan doa, penuh dengan janji surgawi. Jemaat menunduk, beberapa menangis haru, yang lain mengangguk-angguk yakin. Tetapi di antara gema suci itu, aku merasakan sesuatu yang janggal: ada bagian kata yang tidak lagi murni, ada maksud tersembunyi yang berjalan pelan di balik seruan rohani.
Aku bertanya pada diriku sendiri: sejak kapan bahasa bisa berubah
menjadi topeng yang menyembunyikan niat? Sejak kapan doa bisa berbalik menjadi
dalih?
![]() |
Karya: S. Herianto |
Bahasa Suci yang Dibelokkan
Bahasa agama selalu memiliki aura khusus. Setiap kata terasa berat,
seakan-akan datang dari langit, bukan dari mulut manusia. Ketika sebuah kalimat
dimulai dengan “atas nama Tuhan” atau “demi iman kita,” ia langsung melompat
melewati pagar logika, masuk ke hati pendengar tanpa banyak perlawanan.
Dan justru karena itulah bahasa agama mudah sekali dipakai untuk tujuan
selain kebenaran.
Aku teringat pada sejarah panjang peradaban: perang salib yang dibungkus
seruan suci, padahal di baliknya tersimpan ambisi politik; fatwa yang
menjanjikan surga, padahal sejatinya menutupi kerakusan penguasa; janji
keselamatan yang dijual kepada rakyat kecil demi mengisi kantong para pemimpin
rohani.
Bahasa agama bisa menjadi jalan menuju pencerahan, tetapi juga bisa
menjadi jubah untuk menutupi kebohongan.
Kata yang Membius
Bahasa agama bekerja seperti mantra. Cukup satu kalimat yang diucapkan
dengan nada lantang—“ini kehendak Tuhan”—maka ribuan kepala bisa tunduk tanpa
bertanya.
Aku pernah melihat sendiri bagaimana seorang tokoh mengutip kitab suci
untuk meyakinkan jamaah agar mendukung keputusan politiknya. Kalimatnya penuh
keyakinan, penuh kutipan, penuh janji pahala. Dan orang-orang mengangguk,
meskipun di luar gedung itu, keputusan yang sama jelas-jelas melukai rakyat
kecil.
Bahasa yang seharusnya menuntun ke arah kebaikan, malah dipelintir
menjadi pembenaran.
Di situlah aku merasakan bahaya paling halus: ketika kebohongan datang
dengan wajah doa, orang-orang cenderung tidak berani menolak.
Luka yang Terselubung
Bahasa agama yang dipakai untuk menutupi kebohongan membuat harga diri
umat menjadi taruhannya. Aku mengenal seorang kawan yang berhenti datang ke
tempat ibadah. “Aku lelah,” katanya. “Setiap kali aku duduk di sana, aku merasa
bukan sedang disapa oleh Tuhan, melainkan sedang dijadikan alat untuk
kepentingan tertentu.”
Bahasa yang seharusnya menguatkan malah membuatnya terasing. Luka itu
dalam, sebab ia datang bukan dari musuh, melainkan dari ruang yang seharusnya
menjadi rumah rohani.
Bahasa yang Mengunci Nalar
Ada hal lain yang lebih menakutkan: ketika bahasa agama dipakai bukan
hanya untuk berbohong, tetapi juga untuk mengunci akal sehat.
Bayangkan sebuah kalimat: “Jika kau bertanya, berarti imanmu lemah.”
Dengan kalimat sederhana itu, pintu dialog tertutup rapat. Orang yang ingin
bertanya merasa bersalah. Orang yang ingin mengkritik dianggap sesat.
Bahasa agama yang dipelintir bisa mengubah nalar sehat menjadi dosa,
padahal agama sejati lahir dari dialog, pencarian, dan keberanian untuk
mengakui keterbatasan manusia.
Ritual Kata
Aku pernah mengamati sebuah upacara keagamaan. Kata-kata doa meluncur
panjang, berulang, kadang bahkan tanpa disadari maknanya. Orang-orang
mengucapkannya dengan khidmat, meski tak semuanya benar-benar paham arti kata
itu.
Apakah itu salah? Tidak. Tetapi di situlah jebakan muncul: ketika bahasa
suci hanya menjadi ritual kosong, ia membuka ruang bagi siapa pun untuk
menyelipkan pesan lain di baliknya.
Kata bisa menjadi semacam hipnosis massal. Dan ketika kesadaran
tertidur, kebohongan bisa masuk dengan mulus.
Bahasa, Uang, dan Kekuasaan
Tidak bisa dipungkiri: di banyak tempat, bahasa agama juga bercampur
dengan uang dan kekuasaan. Janji pahala kadang dipakai untuk memungut sumbangan
berlebih; ancaman dosa dipakai untuk membungkam kritik; seruan suci dipakai
untuk mendukung keputusan politik tertentu.
Seorang teman pernah berkata sinis: “Tuhan tidak butuh uangmu, tapi
manusia yang mengatasnamakan Tuhan sering kali sangat membutuhkannya.” Aku
terdiam, karena sinisme itu lahir dari kenyataan pahit yang ia lihat setiap
hari.
Kebohongan yang dibungkus dengan bahasa agama lebih berbahaya daripada
kebohongan biasa. Sebab ia bukan hanya melukai tubuh, tetapi juga mencederai
iman.
Antara Iman dan Retorika
Namun aku juga tidak ingin terjebak dalam sikap sinis semata. Ada banyak
pemimpin rohani yang tulus, yang menjaga kata-katanya agar tetap jernih. Ada
banyak ruang doa yang benar-benar memulihkan.
Persoalannya bukan pada agama, melainkan pada retorika: pada cara bahasa
dipakai. Bahasa agama bisa menjadi jembatan menuju Tuhan, tetapi ia juga bisa
menjadi pagar besi yang mengurung umat dalam kebohongan.
Sejarah dan Jejak Manipulasi
Dalam sejarah Indonesia, bahasa agama pernah menjadi alat kolonialisme.
Belanda, di beberapa daerah, memanfaatkan pemimpin rohani lokal untuk
menghalalkan kerja rodi atau pajak yang mencekik. Bahasa agama dijadikan topeng
bagi eksploitasi. “Patuhlah, karena ini bagian dari takdir,” begitu kira-kira
pesan yang ditanamkan.
Di masa Orde Baru, jargon keagamaan sering dipakai untuk melanggengkan
kekuasaan. Kritik dianggap ancaman terhadap stabilitas iman dan negara. Bahasa
rohani bercampur dengan bahasa politik, menghasilkan ruang sunyi di mana rakyat
tidak berani bertanya.
Di era kontemporer, fenomena serupa muncul dalam bentuk lain: politisi
yang mengutip ayat untuk menyerang lawan, iklan-iklan politik yang dibalut doa,
bahkan ujaran kebencian yang dilapisi klaim kebenaran agama. Bahasa agama
dijadikan perisai sekaligus pedang.
Retorika Agama dalam Panggung Global
Fenomena ini bukan hanya milik satu bangsa. Ia adalah drama universal.
Di Timur Tengah, seruan jihad kerap dipakai sebagai slogan politik.
Perang untuk minyak, tanah, dan pengaruh internasional disulap menjadi
perjuangan suci. Kata sakral berubah menjadi komando yang mendorong anak muda
mengorbankan hidupnya.
Di Amerika Serikat, pidato politik sering dibungkus dengan kutipan
Alkitab. Keputusan militer diberi wajah rohani. Kata “God bless America”
terdengar seperti doa, padahal sering lebih dekat pada propaganda.
Di Eropa abad pertengahan, gereja memakai bahasa agama untuk mengatur
segala aspek kehidupan, menyebut lawan sebagai bidat, sesat, atau musuh Tuhan.
Padahal, di balik semua itu ada kepentingan ekonomi dan kuasa.
Filsafat Kebenaran dalam Bahasa
Aku mulai bertanya: apa arti kebenaran jika bahasa bisa dipelintir
dengan mudah?
Bahasa agama, dalam bentuk paling murni, adalah jalan menuju kebenaran.
Tetapi ketika ia dipakai sebagai senjata, kebenaran itu kabur. Mungkin
kebenaran bukanlah sesuatu yang bisa dipatenkan dalam kata. Mungkin ia hadir
ketika kita berani membongkar kata-kata yang berlapis, berani menyingkap retorika
yang membungkus kepentingan dengan doa.
Jalan Menuju Kesadaran Baru
Apa yang bisa kita lakukan? Pertama, belajar membaca bahasa dengan
hati-hati. Tidak semua doa adalah doa, tidak semua seruan iman adalah
kebenaran.
Kedua, berani bertanya. Pertanyaan bukanlah tanda lemahnya iman,
melainkan kekuatan akal yang dianugerahkan Tuhan.
Ketiga, membangun kembali bahasa agama sebagai bahasa cinta, bukan
ketakutan. Bahasa yang menumbuhkan harapan, bukan sekadar ancaman. Bahasa yang
membuat orang merasa damai, bukan tertekan.
Penutup: Antara Doa dan Kebohongan
Aku kembali mengingat mimbar kecil di awal kisah ini. Suara itu masih
menggema dalam kepalaku. Ada doa, ada ayat, ada janji surgawi. Tetapi aku juga
belajar melihat: ada celah di mana kebohongan bisa menyusup.
Bahasa agama adalah cahaya jika ia jujur. Tetapi ia bisa berubah menjadi
kabut jika dipakai untuk berbohong. Pilihan ada di tangan manusia: apakah kita
menjadikannya jalan pulang, atau jalan sesat.
Selama masih ada keberanian untuk bertanya, selama masih ada hati yang
peka terhadap kemanusiaan, bahasa agama akan kembali pada fungsinya yang
sejati: bukan topeng bagi kebohongan, melainkan jembatan menuju kebenaran.
Posting Komentar untuk "Ketika Kata Berselimut Doa"