NEGERI YANG MENYEMBUNYIKAN CATATAN DARAH DI BAWAH BANTAL SEJARAHNYA
Ada malam yang tidak pernah selesai. Malam yang lahir di ujung September, ketika jarum jam seperti kehilangan arah dan berhenti di titik genting. Orang menyebutnya peristiwa tiga puluh. Tetapi siapa saja yang berani menekuni lembar demi lembar catatan akan segera sadar: ini bukan hanya peristiwa, melainkan simpul rumit dari mitos, propaganda, dan duka yang diturunkan lintas generasi.
Versi resmi meluncur deras seperti sungai yang dipaksa menuju muara tunggal. Ada tokoh yang ditahbiskan sebagai pengkhianat, ada pula yang dimahkotai sebagai penyelamat. Anak-anak sekolah diberi dongeng yang sama dari tahun ke tahun, lewat film wajib, teks pelajaran, pidato yang dihafal. Tetapi di balik itu, selalu ada suara lirih—samar, ragu-ragu, hanya berani berbisik di lorong gelap atau ruang sunyi. Suara itu menyebut: kebenaran tidak pernah sesederhana hitam dan putih.
![]() |
Tercatat sebagai pahlawan |
Darah memang tumpah malam itu. Nyawa memang hilang, keluarga memang patah. Namun tragedi tidak berhenti di sana. Setelahnya, tanah Nusantara mendadak penuh tangisan lain: rumah yang ditinggalkan tanpa kepulangan, sawah yang sepi karena tangan penggarapnya raib, anak-anak yang tumbuh dengan gelar yatim sebelum waktunya. Luka itu bukan garis lurus, melainkan lingkaran yang tak henti berputar, berlapis, menjerat siapa saja yang hidup di dalamnya.
Narasi besar negeri ini lebih sering memilih wajah tertentu. Satu dipuja, yang lain dikutuk. Padahal sejarah, jika diibaratkan kaca, sudah pecah sejak awal. Pecahannya memantulkan cahaya berbeda-beda, dan justru karena itu ia tak bisa disatukan kembali. Menutup sebagian berarti membiarkan bayangan menguasai ruang yang kosong.
Tragedi terbesar barangkali bukan hanya pada malam itu sendiri, melainkan pada cara ia diwariskan. Generasi demi generasi dipaksa menghafal, tapi dilarang bertanya. Kita dijejali cerita tunggal, tanpa izin untuk ragu, tanpa ruang untuk mendengar sisi lain. Sejarah berubah menjadi doa panjang yang diulang-ulang: dikeramatkan, dipertontonkan, tetapi tak pernah benar-benar dipahami.
Luka purba itu, bukannya dibiarkan sembuh, malah terus dipoles. Diulang, dipamerkan, dijadikan pembenaran. Baunya sengaja dijaga agar tetap segar, agar ia bisa dipanggil sewaktu-waktu untuk kepentingan tertentu. Seperti luka yang dibuka setiap tahun hanya untuk menunjukkan bahwa tubuh bangsa ini masih berdarah.
Namun bangsa yang sehat bukan bangsa yang menutupi luka dengan karangan bunga, melainkan yang berani membuka perban, menatap nanahnya, lalu mencari obat yang benar. Bangsa yang berani mengakui bahwa sejarah bukan hanya milik penguasa, bukan hanya milik pemenang, tapi milik setiap manusia yang hidup dan mati dalam pusaran itu.
Karena sejarah sejati bukan sekadar daftar nama partai, bukan pangkat di bahu, bukan simbol di layar. Sejarah adalah manusia. Manusia yang menangis, yang kehilangan, yang dicatat atau dihapus sesuka hati oleh mereka yang memegang pena.
Selama manusia itu masih disembunyikan di balik lembar catatan resmi, selama suara mereka masih dipaksa tenggelam, bangsa ini akan tetap berjalan dengan kaki pincang, menatap masa depan dengan mata separuh buta.
Dan malam itu—malam yang katanya sudah lama berlalu—akan terus hidup, menyusup ke dalam mimpi kita, menekan dada ketika tidur, mengingatkan bahwa ada catatan darah yang sengaja diselipkan di bawah bantal sejarah kita. Catatan yang tidak akan pernah berhenti berdenyut, sampai keberanian untuk membacanya lahir.
Posting Komentar untuk "NEGERI YANG MENYEMBUNYIKAN CATATAN DARAH DI BAWAH BANTAL SEJARAHNYA"