Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kesejahteraan: Kata yang Meninabobokan

Di ruang-ruang pidato pejabat, kata kesejahteraan sering dilontarkan dengan penuh keyakinan. Ia muncul di spanduk kampanye, di rancangan undang-undang, di visi-misi pemerintahan, bahkan di papan reklame bank dan perusahaan asuransi. Kata itu seakan janji suci: kesejahteraan untuk rakyat, kesejahteraan bersama, kesejahteraan yang merata.

Tetapi semakin sering ia diucapkan, semakin terasa aneh: mengapa hidup rakyat kecil tidak kunjung berubah?

Mungkin jawabannya sederhana: kesejahteraan telah menjelma obat bius. Kata ini menenangkan, memabukkan, meninabobokan kesadaran kritis, membuat orang percaya bahwa semua akan baik-baik saja—padahal kenyataan sehari-hari menunjukkan sebaliknya.

Kesejahteraan: Kata yang Meninabobokan
https://www.monwnews.com/kesejahteraan-sosial/ 


Kata yang Dijanjikan, Bukan Dihidupkan

Kesejahteraan selalu hadir sebagai janji, bukan kenyataan. Ia seperti utopia yang tak pernah tercapai. Dari masa ke masa, pemimpin berganti, slogan berubah, tetapi kata itu tetap berdiri di podium, tak pernah benar-benar turun ke tanah.

Rakyat kecil dijanjikan kesejahteraan sambil terus membayar pajak, bekerja keras, dan bertahan hidup dengan harga pangan yang melambung. Buruh mendengar kata itu di rapat akbar, tetapi pulang tetap membawa upah minim. Petani mendengar kata itu di pidato penyuluhan, tetapi tetap berhadapan dengan pupuk mahal dan panen yang dijual murah.

Kesejahteraan hanya hadir sebagai suara di udara, bukan roti di meja makan.

Obat Bius Politik

Kekuatan kata kesejahteraan mirip anestesi: ia meredakan rasa sakit sementara, tapi tidak menyembuhkan penyakit.

Seorang pejabat yang mengatakan “pemerintah berkomitmen pada kesejahteraan rakyat” membuat masyarakat sedikit lega, seakan ada perhatian. Namun kelegaan itu hanyalah ilusi. Sakit sebenarnya—kemiskinan, ketimpangan, korupsi—tetap ada, hanya tidak lagi terasa sesaat karena kita dibuat percaya bahwa kesejahteraan sedang diusahakan.

Inilah fungsi obat bius politik: bukan menyelesaikan masalah, tetapi membuat rakyat berhenti menjerit.

Kesejahteraan dalam Retorika

Bahaya sesungguhnya adalah ketika kata kesejahteraan tidak lagi punya makna nyata. Ia dipakai sebagai retorika universal yang bisa masuk ke semua ruang.

  • Dalam kampanye politik: “Kami akan mewujudkan kesejahteraan rakyat.”

  • Dalam iklan bank: “Investasikan untuk kesejahteraan keluarga Anda.”

  • Dalam program pembangunan: “Proyek ini demi kesejahteraan bersama.”

Semua memakai kata itu, sehingga ia kehilangan isi. Ia hanya jadi topeng untuk menutupi kepentingan: kepentingan partai, kepentingan perusahaan, kepentingan penguasa.

Bahasa yang Membius Nalar

Yang lebih berbahaya: rakyat pun ikut mengulang kata itu. Demonstrasi buruh membawa spanduk “Tuntut Kesejahteraan.” Forum warga berteriak “Kami ingin hidup sejahtera.” Media menulis “Program kesejahteraan sosial.”

Tanpa sadar, kita semua memakai kata yang sama, kata yang telah dikosongkan maknanya. Kita jarang bertanya: apa sebenarnya arti kesejahteraan? Apakah sekadar gaji cukup? Rumah layak? Pendidikan murah? Atau ada makna lain?

Kata ini membuat kita malas berpikir detail. Kita puas dengan imajinasi abstrak tentang kehidupan yang lebih baik, tanpa mendesak rincian konkret.

Kata kesejahteraan menidurkan pertanyaan-pertanyaan kritis yang seharusnya hidup: Bagaimana pembagian hasil bumi? Bagaimana penghapusan korupsi? Bagaimana distribusi pajak? Kata itu menutup semua dengan selimut manis.

Dari Janji ke Luka

Sejarah menunjukkan, kata-kata besar yang terlalu sering diulang bisa berubah menjadi luka.

Di era kolonial, rakyat dijanjikan kesejahteraan lewat pembangunan infrastruktur—jalan raya, perkebunan, jalur kereta. Tetapi infrastruktur itu hanya menyejahterakan penjajah, bukan pribumi.

Di masa Orde Baru, kesejahteraan jadi mantra pembangunan. Kata itu dipasang di baliho, disebut di buku pelajaran. Tetapi di baliknya ada penggusuran, pemiskinan, dan penyeragaman suara rakyat.

Kini, di era demokrasi, kesejahteraan masih jadi bendera yang diusung semua kandidat politik. Tetapi bagi rakyat kecil, kata itu tidak lagi manis; ia terasa getir, karena janji tak kunjung berubah menjadi roti.

Saat Kata Kehilangan Jiwa

Kata kesejahteraan seharusnya punya jiwa: ia berbicara tentang keadilan, distribusi, pemenuhan hak dasar, dan penghargaan martabat manusia. Tetapi jiwa itu hilang ketika kata ini hanya dipakai sebagai alat retorika.

Ia berubah menjadi bayangan, sesuatu yang selalu tampak di depan mata, tetapi tidak pernah bisa digapai.

Maka, setiap kali kata ini disebut, rakyat hanya bisa bertanya dalam hati: kapan? bagaimana? siapa yang benar-benar sejahtera?

Penutup: Mencari Kata Baru

Mungkin sudah saatnya kita berhenti terbuai oleh kata kesejahteraan.

Alih-alih, kita perlu mencari bahasa baru yang lebih konkret, lebih membumi. Kata-kata yang tidak sekadar meninabobokan, tetapi memaksa kita berpikir: “Gaji layak, pangan murah, kesehatan gratis, pendidikan bermutu.” Itu lebih jelas daripada “kesejahteraan.”

Karena kesejahteraan tanpa rincian hanyalah candu. Ia memberi mimpi, tetapi tidak memberi roti. Ia menenangkan, tetapi tidak membebaskan.

Dan bangsa yang hidup dari candu kata-kata, selamanya akan tertidur dalam janji yang tak pernah ditepati.

Posting Komentar untuk "Kesejahteraan: Kata yang Meninabobokan"