Literasi: Antara Jargon dan Gerakan Nyata
Kata literasi kini bergema di setiap ruang pendidikan. Spanduk di sekolah terpampang: “Sudut Literasi, Pojok Literasi, Gerakan Literasi Nasional.” Seminar pendidikan hampir selalu menjadikan literasi sebagai topik utama. Para pejabat gemar mengucapkannya di podium, guru diwajibkan mengajarkannya, siswa diarahkan untuk melaksanakannya.
Tetapi ada yang menggelitik: mengapa istilah ini begitu sering diulang, begitu getol digunakan, seakan-akan menyebut kata literasi saja sudah cukup untuk menyelesaikan masalah kebodohan, keterbelakangan, atau krisis berpikir bangsa? Apakah literasi benar-benar sedang dijalankan, atau hanya sekadar dipamerkan sebagai jargon yang keren?
![]() |
Literasi adalah .... |
Literasi: Dari Makna ke Jargon
Secara etimologis, literasi berasal dari kata literate, artinya melek huruf, mampu membaca dan menulis. Namun, dalam perkembangan modern, literasi berarti lebih dari itu: kemampuan memahami, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta dari informasi yang kita baca, dengar, atau saksikan. Literasi bukan sekadar membaca buku, melainkan membaca kehidupan.
Sayangnya, di banyak tempat literasi justru direduksi menjadi kegiatan formal. Membaca lima belas menit di awal pelajaran disebut sebagai “Gerakan Literasi Sekolah.” Memasang rak kecil berisi buku bacaan di sudut kelas diberi label “Pojok Literasi.” Membuat festival menulis diadakan dengan nama “Festival Literasi.” Semua memakai istilah literasi, tetapi sering kali tanpa ruh.
Literasi akhirnya menjadi seperti perhiasan: dipajang agar terlihat indah, tetapi tidak benar-benar dipakai untuk menolong kehidupan.
Literasi Sebagai Proyek
Fenomena lain yang membuat istilah ini semakin kabur adalah ketika literasi berubah menjadi proyek instansi. Program literasi lebih sering diukur dari banyaknya seminar, lomba, atau laporan kegiatan, bukan dari perubahan cara berpikir siswa.
Sekolah yang memiliki “pojok literasi” akan dianggap lebih baik, meskipun pojok itu sepi pengunjung dan bukunya tidak pernah disentuh. Guru yang membacakan satu paragraf di awal pelajaran dianggap sudah menjalankan program literasi, meski setelah itu siswa kembali dijejali hafalan.
Inilah wajah literasi ketika ia hanya menjadi formalitas: ramai dalam laporan, sepi dalam praktik.
Literasi yang Sesungguhnya
Padahal, literasi sejati bukan sekadar membaca buku, tetapi membaca dunia. Seorang siswa yang literat bukan hanya bisa menyalin teks dengan baik, tetapi juga bisa membedakan mana berita yang benar dan mana hoaks. Ia bisa menulis pendapatnya dengan kritis, berani berbeda pandangan tanpa menyinggung, mampu memahami teks agama tanpa jatuh pada fanatisme.
Literasi juga berarti kemampuan membaca tanda-tanda zaman: memahami kenapa harga pangan naik, kenapa politik bisa diputarbalikkan oleh bahasa, kenapa iklan bisa membuat orang membeli barang yang tidak mereka butuhkan.
Inilah literasi yang dibutuhkan masyarakat: literasi yang membentuk nalar kritis, bukan literasi yang sekadar menambah rak buku.
Sejarah Singkat Literasi di Nusantara
Jika kita menengok sejarah, literasi di Nusantara memiliki perjalanan yang panjang. Tradisi menulis naskah lontar di Bali, serat Jawa, hikayat Melayu, hingga babad Bugis adalah bentuk literasi yang mengakar sejak lama. Namun, kolonialisme Belanda mempersempit akses baca tulis hanya untuk kalangan elit. Rakyat kecil baru bisa mengenyam literasi setelah masa pergerakan nasional, ketika sekolah rakyat mulai dibuka.
Pada masa Orde Baru, literasi kembali direduksi menjadi alat politik. Buku-buku sejarah disensor, buku bacaan dikontrol, dan siswa hanya diajari literasi tunggal: membaca, menulis, dan menghafal versi negara. Maka, literasi kehilangan daya kritisnya.
Hari ini, meski kita hidup di era digital, pola lama masih berulang. Literasi lebih sering dipakai untuk mendidik anak menjadi penurut, bukan menjadi pemikir.
Literasi Digital: Antara Peluang dan Ancaman
Era digital membawa wajah baru literasi. Anak-anak tidak hanya membaca buku, tetapi juga membaca layar. Setiap hari mereka dibanjiri informasi dari media sosial.
Peluangnya besar: akses bacaan semakin luas, pengetahuan semakin terbuka. Tetapi ancamannya juga nyata: banjir informasi tanpa kemampuan kritis justru melahirkan masyarakat yang bingung, mudah termakan hoaks, dan gampang dihasut propaganda.
Gerakan literasi hari ini seharusnya menekankan kemampuan memilah informasi. Sayangnya, program literasi di sekolah masih berkutat pada membaca teks cetak, seakan anak-anak hidup di tahun 1980-an, bukan di abad ke-21.
Literasi dan Bahasa Politik
Bahaya terbesar ketika literasi dipakai bukan untuk membebaskan, tetapi untuk mendoktrin. Bahasa politik sering menyusup ke buku pelajaran, menjadikan literasi sekadar alat legitimasi.
Anak-anak diminta membaca kisah pahlawan yang selalu berakhir dengan pujian kepada negara. Mereka diminta menulis slogan tentang cinta tanah air tanpa pernah diajari cara bertanya: mengapa tanah air sering tidak mencintai rakyatnya?
Literasi yang seharusnya membebaskan justru berubah menjadi borgol halus.
Jalan Baru Literasi
Apa yang harus dilakukan agar literasi tidak sekadar jargon?
Pertama, kita perlu mengubah cara pandang: literasi bukan kegiatan tambahan, tetapi inti dari pendidikan. Membaca bukan sekadar formalitas, melainkan proses menemukan jati diri.
Kedua, literasi harus diarahkan pada kemampuan kritis. Anak-anak harus diajari membaca media sosial dengan cerdas, menganalisis berita, memahami iklan, dan berani mengkritisi teks.
Ketiga, literasi harus membumi. Ia tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di sawah, di pasar, di rumah. Membaca pengalaman hidup, menuliskan kisah keluarga, berdiskusi tentang masalah sehari-hari—itulah literasi yang nyata.
Keempat, literasi harus merangkul bahasa daerah. Mengajarkan anak membaca dan menulis dalam bahasa ibu bukan ancaman, melainkan kekayaan. Dari bahasa ibu mereka belajar identitas, lalu dari bahasa Indonesia mereka belajar persatuan, dan dari bahasa asing mereka belajar keterbukaan.
Penutup: Dari Kata ke Kesadaran
Kita boleh getol memakai istilah literasi, tetapi jangan biarkan ia berhenti sebagai jargon. Jika literasi hanya jadi proyek, ia akan mati sebagai formalitas. Tetapi jika literasi dihidupkan sebagai kesadaran, ia akan menjadi jalan menuju kemerdekaan berpikir.
Pada akhirnya, literasi bukan tentang berapa banyak buku yang dibaca, bukan tentang berapa banyak festival yang digelar, tetapi tentang bagaimana bahasa membentuk manusia yang bebas, kritis, dan berani.
Dan mungkin inilah makna terdalam dari literasi: bukan sekadar keterampilan membaca dan menulis, melainkan keberanian untuk tidak dibohongi oleh kata-kata.
Posting Komentar untuk "Literasi: Antara Jargon dan Gerakan Nyata"