Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keadilan yang Diletakkan di Sila Kelima

Dalam Pancasila, keadilan ditempatkan di sila terakhir: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Sepintas, kalimat itu terdengar indah, sebuah janji luhur yang menutup dasar negara kita. Namun jika direnungkan lebih dalam, penempatan ini menghadirkan satu pertanyaan mendasar: mengapa keadilan tidak di awal, melainkan di ujung? Apakah ia dimaksudkan sebagai puncak cita-cita bangsa, atau justru sebagai pelengkap yang bisa ditunda-tunda, dibiarkan jauh di belakang?

Keadilan yang Diletakkan di Sila Kelima
Keadilan....


Keadilan yang Menunggu

Keadilan dalam sila kelima seakan ditakdirkan untuk selalu menunggu. Ia bukan fondasi pertama, bukan pijakan awal; ia hadir sebagai penutup, seolah baru bisa ditegakkan setelah empat sila sebelumnya tercapai.

Maka bangsa ini pun terbiasa berkata: mari tegakkan Ketuhanan dulu, mari wujudkan Kemanusiaan dulu, mari persatukan bangsa dulu, mari bermusyawarah dulu—baru setelah itu bicara soal keadilan.

Begitulah keadilan selalu ditunda, selalu diundur, selalu diposisikan sebagai sesuatu yang datang belakangan.

Tetapi kita tahu, keadilan yang ditunda sejatinya adalah ketidakadilan yang dilegalkan. Sebab dalam kehidupan sehari-hari, keadilan bukanlah tujuan akhir, melainkan kebutuhan dasar yang harus hadir sejak awal.

Keadilan yang Menjadi Janji

Keadilan dalam sila kelima sering kali hanya hidup sebagai janji. Setiap rezim mengklaim hendak menegakkannya. Setiap pidato kenegaraan menyebutnya dengan penuh wibawa. Namun jarang sekali keadilan itu benar-benar hadir di pasar, di sawah, di pabrik, di ruang pengadilan, atau di sekolah rakyat.

Petani menunggu harga yang adil, buruh menunggu upah layak, nelayan menunggu laut yang tidak dirampas, rakyat kecil menunggu akses kesehatan dan pendidikan. Mereka semua menunggu, sebab keadilan selalu dijadikan retorika, bukan kenyataan.

Keadilan hadir di spanduk, tetapi absen di meja makan.

Keadilan yang Dikorbankan

Bahaya dari menempatkan keadilan di sila terakhir adalah kecenderungan untuk mengorbankannya demi kepentingan sila sebelumnya.

Atas nama persatuan, keadilan bisa ditunda. Atas nama musyawarah, keadilan bisa dikompromikan. Atas nama ketuhanan, keadilan bisa diselewengkan. Atas nama kemanusiaan, keadilan bisa dibungkus retorika.

Padahal, tanpa keadilan, semua sila lain kehilangan ruh. Persatuan tanpa keadilan hanyalah penyeragaman. Musyawarah tanpa keadilan hanyalah formalitas. Kemanusiaan tanpa keadilan hanyalah retorika kosong. Ketuhanan tanpa keadilan hanyalah legitimasi kekuasaan.

Sejarah Lahirnya Sila Kelima

Untuk memahami persoalan ini, kita perlu menengok sejarah lahirnya Pancasila.

Pada sidang BPUPKI tahun 1945, para pendiri bangsa berdebat sengit tentang dasar negara. Soekarno mengusulkan lima prinsip yang kemudian dikenal sebagai Pancasila. Dalam pidatonya 1 Juni 1945, Soekarno menekankan bahwa sila terakhir adalah “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Mengapa ditempatkan di akhir? Soekarno melihat keadilan sosial sebagai tujuan akhir perjuangan bangsa, sebuah cita-cita yang hanya bisa dicapai setelah bangsa ini merdeka, bersatu, dan berdaulat. Keadilan ditempatkan sebagai mahkota.

Tetapi para pendiri bangsa mungkin tidak membayangkan bahwa penempatan di akhir akan membuat generasi berikutnya cenderung menundanya, menganggap keadilan sebagai buah yang baru bisa dipetik di ujung perjalanan, bukan sebagai syarat dasar.

Luka Kolektif Bangsa

Sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan menunjukkan bagaimana keadilan sering dikorbankan.

Pada masa Orde Lama, slogan “revolusi belum selesai” membuat rakyat bersabar atas ketidakadilan. Pada masa Orde Baru, slogan “demi stabilitas nasional” membuat kritik terhadap ketidakadilan dibungkam. Di era Reformasi, jargon “demokrasi dan pembangunan” sering dipakai untuk menutupi fakta bahwa ketimpangan sosial-ekonomi tetap menganga.

Akibatnya, bangsa ini hidup dengan luka kolektif: hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas, kekayaan alam yang dikuasai segelintir, pajak rakyat kecil dipungut dengan tegas sementara korupsi pejabat dibiarkan.

Inilah wajah bangsa yang menjadikan keadilan sebagai sila terakhir: indah dalam teori, jauh dalam praktik.

Keadilan sebagai Puncak atau Dasar?

Sebagian akademisi berpendapat bahwa sila kelima adalah puncak, mahkota dari seluruh sila. Tanpa empat sila sebelumnya, keadilan tidak akan mungkin terwujud.

Namun pengalaman sejarah justru menunjukkan hal sebaliknya: menunggu keadilan berarti membiarkan ketidakadilan beranak-pinak. Semakin lama ditunda, semakin dalam akar ketimpangan tumbuh.

Keadilan seharusnya tidak ditempatkan di puncak, melainkan di dasar. Ia bukan hasil akhir, melainkan syarat pertama agar bangsa ini bisa berdiri.

Keadilan dalam Kehidupan Nyata

Mari kita lihat kehidupan sehari-hari.

Di pasar, seorang pedagang kecil membayar retribusi sementara perusahaan besar mendapat keringanan pajak. Di pengadilan, rakyat jelata dihukum berat karena mencuri sekarung beras, sementara koruptor miliaran bisa lolos dengan vonis ringan. Di desa, petani menjual gabah dengan harga murah, sementara beras di kota dijual dengan harga berlipat.

Apakah ini wajah dari keadilan sosial yang dijanjikan sila kelima?

Ataukah keadilan hanya menjadi retorika yang dipajang di dinding sekolah, dihafalkan siswa, tetapi tidak pernah hadir di meja rakyat?

Penafsiran Ulang

Mungkin sudah saatnya kita membaca ulang Pancasila bukan sebagai urutan yang kaku, melainkan sebagai rangkaian hidup. Dalam kehidupan nyata, keadilan harus hadir sejak awal.

Keadilan bukan sekadar buah yang dipetik di ujung, melainkan tanah tempat pohon bangsa ini tumbuh. Tanpa tanah yang adil, pohon itu layu sebelum berbuah.

Keadilan harus menjadi dasar pendidikan: anak-anak belajar bukan hanya menghafal sila, tetapi mengalami keadilan di kelas. Keadilan harus menjadi dasar ekonomi: petani, buruh, nelayan mendapatkan harga yang layak. Keadilan harus menjadi dasar hukum: tidak ada lagi hukum yang tumpul ke atas tajam ke bawah.

Penutup: Keadilan yang Tak Boleh Ditunda

Jika bangsa ini sungguh ingin hidup sesuai Pancasila, kita harus menafsirkan ulang sila kelima. Bukan lagi sebagai janji yang ditunda, bukan lagi sebagai mahkota yang hanya bisa dipetik di akhir, tetapi sebagai syarat yang ditegakkan sejak hari pertama.

Keadilan bukanlah sila kelima; keadilan seharusnya hadir di setiap sila. Ia menjiwai Ketuhanan, mewarnai Kemanusiaan, meneguhkan Persatuan, dan melandasi Musyawarah.

Sebab keadilan yang ditunda bukan lagi keadilan, melainkan penindasan yang dibungkus kesabaran.

Posting Komentar untuk "Keadilan yang Diletakkan di Sila Kelima"