Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Film G30S/PKI: Propaganda, Trauma, dan Monumen Kebohongan yang Menolak Mati

Sejarah bukanlah kitab suci, melainkan palagan di mana kebenaran selalu dipukul, dipelintir, diperdagangkan. Film Pengkhianatan G30S/PKI lahir bukan dari niat mulia mencatat sejarah, melainkan dari hasrat kuasa untuk menanamkan ketakutan yang abadi. Ia adalah propaganda paling telanjang yang pernah diproduksi negeri ini—propaganda yang dibungkus sebagai karya seni, ditayangkan berulang-ulang, disuntikkan ke benak anak-anak sebelum mereka bisa membedakan fakta dari fiksi.

Film G30S/PKI: Propaganda, Trauma, dan Monumen Kebohongan yang Menolak Mati
Film G30S/PKI

Urgensi pembuatan film ini pada tahun 1984 bukanlah untuk “mendidik generasi,” melainkan untuk mengukuhkan dominasi politik. Kamera, dialog, darah, dan jeritan dalam film itu bekerja sebagai mesin penggiling nalar. Ia tak peduli pada kebenaran, ia hanya peduli pada ketaatan. Inilah seni yang dijadikan senjata, bukan untuk membebaskan, melainkan untuk menundukkan.

Penayangan massalnya pun adalah ritual kolektif pencucian ingatan. Setiap akhir September, jutaan mata dipaksa menatap layar kaca, menginternalisasi rasa takut, dan mengutuk satu nama: PKI. Bangsa ini tidak sedang diajak mengingat sejarah; ia sedang digiring untuk melupakan bagian-bagian sejarah lain—pembantaian massal, penahanan tanpa proses hukum, dan bisu panjang para penyintas yang dikubur dalam stigma. Film itu menegaskan satu hal: sejarah resmi adalah monolog, bukan dialog.

Namun ironinya, justru karena propaganda ini terlalu masif, ia kini menjadi artefak telanjang dari sebuah kebohongan sistematis. Generasi muda hari ini tidak lagi menonton film itu dengan rasa gentar, melainkan dengan rasa curiga. Mereka mulai bertanya: mengapa hanya ada satu versi? Mengapa darah yang ditampilkan begitu dramatis, sementara jutaan mayat tak pernah mendapat layar? Mengapa musuh digambarkan sebagai monster, sementara penguasa tampil bagai penyelamat?

Esensi film ini hari ini bukan lagi tentang fakta tragedi 1965, melainkan tentang bagaimana kekuasaan bekerja mengendalikan imajinasi bangsa. Ia adalah monumen kebohongan yang ironisnya memberi pelajaran paling jujur: bahwa sejarah selalu bisa diputarbalikkan oleh mereka yang berkuasa. Menontonnya bukan berarti menyetujui narasinya, melainkan menyaksikan bagaimana sinema bisa menjadi mesin represi paling halus.

Urgensi penayangannya kembali bukan untuk meneguhkan doktrin, melainkan untuk membuka luka yang selama ini dibungkam. Ia harus ditonton dengan cara baru: sebagai bukti bahwa kebenaran bisa dikurung dalam seluloid, bahwa bangsa ini pernah—dan mungkin masih—takut menghadapi sejarahnya sendiri.

Maka, film G30S/PKI bukan sekadar film; ia adalah hantu yang menolak mati. Selama bangsa ini enggan berdamai dengan sejarah yang plural, film itu akan terus menghantui, entah sebagai propaganda, entah sebagai bahan tertawaan, entah sebagai cermin betapa mudahnya kita ditipu oleh gambar bergerak.

Pertanyaannya kini bukan lagi: apakah film itu benar atau salah. Pertanyaannya: apakah kita berani menyalakan lampu, menatap sejarah yang berlumur darah, dan berkata: cukup sudah, kami berhak melihat lebih dari satu wajah kebenaran.

#FilmG30SPKI #PropagandaSejarah #KritikPolitik #Trauma1965 #nyastrablog

Ditulis oleh S. Herianto

Posting Komentar untuk "Film G30S/PKI: Propaganda, Trauma, dan Monumen Kebohongan yang Menolak Mati"