Sekolah di Persimpangan: Antara Janji dan Luka Pendidikan
Apakah pemerintah sungguh-sungguh mengurusi pendidikan, ataukah hanya sedang memainkan sandiwara besar di panggung birokrasi? Pertanyaan ini seharusnya menggigit hati kita setiap kali melihat potret sekolah di pelosok: dinding rapuh, meja patah, guru bergaji rendah, murid berjalan berkilometer tanpa alas kaki. Pendidikan dijanjikan sebagai tangga mobilitas sosial, namun tangga itu retak, licin, bahkan seringkali roboh di tengah jalan.
![]() |
Antara Janji dan Luka Pendidikan |
Francis Bacon akan berkata pendidikan harus menjadi investasi paling rasional, fondasi kebijakan, tetapi di negeri ini logika sering terseret ke lumpur kepentingan politik. George Orwell barangkali mencatat bagaimana bahasa-bahasa resmi pemerintah tentang “pembangunan sumber daya manusia” terdengar seperti jargon kosong, kabut retorika untuk menutupi ketidakseriusan. Sementara James Baldwin mungkin menegaskan: ketidakadilan pendidikan adalah luka identitas, luka bangsa yang dibiarkan bernanah.
Sekolah tidak boleh menjadi ruang reproduksi ketimpangan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa anak di kota besar mendapatkan guru, buku, internet, dan fasilitas, sementara anak di pelosok hanya mengandalkan papan tulis lusuh dan guru honorer yang hatinya besar tapi perutnya lapar. Di titik inilah kita melihat bahwa pemerintah lebih suka menghitung angka partisipasi sekolah ketimbang menyalakan api pengetahuan sejati.
Henry David Thoreau akan menyindir: pemerintah selalu tergesa-gesa membangun gedung tinggi dan menempelkan plakat peresmian, tapi jarang membangun kesadaran kritis dalam diri anak. Michel de Montaigne barangkali berbisik bahwa esensi pendidikan adalah membuat anak mengenal dirinya sendiri, bukan sekadar mencatat teori yang akan dilupakan di ujian berikutnya.
Apakah pemerintah serius? Jika serius, ia harus berani menyentuh inti masalah: kesejahteraan guru, kurikulum yang membebaskan, akses yang merata, dan keberanian menempatkan anak-anak bukan sekadar statistik. Keseriusan tidak bisa hanya diukur dari anggaran yang tercantum di APBN, karena angka-angka itu sering bocor di jalan menuju ruang kelas.
Mungkin Albert Camus akan menyebut kondisi ini sebagai absurditas: kita tahu pendidikan adalah kunci masa depan, namun kita membiarkannya diperlakukan seperti kunci karatan yang dibiarkan tergantung tanpa pernah membuka pintu. Dan Joan Didion akan dingin berkata: kita lebih sering merayakan pidato menteri ketimbang mendengarkan tangisan seorang murid yang tidak bisa melanjutkan sekolah karena biaya.
Maka jawaban atas pertanyaan itu sederhana sekaligus getir: pemerintah kelihatan peduli, tapi apakah ia sungguh serius? Keseriusan bukanlah pidato, melainkan kesetiaan pada keadilan. Jika sekolah di negeri ini masih menjadi ladang eksperimen kebijakan, maka yang dikorbankan adalah anak-anak kita sendiri—generasi yang seharusnya tumbuh dengan cahaya, bukan dengan sisa-sisa retorika yang membosankan.
#EsaiPendidikan #KritikSosial #SastraPernyataan #nyastraBlog #SHerianto
Posting Komentar untuk "Sekolah di Persimpangan: Antara Janji dan Luka Pendidikan"