Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Film G30S/PKI: Antara Urgensi Penayangan, Ingatan Kolektif, dan Esensi yang Tak Pernah Usai

Setiap bangsa memilih cara untuk mengingat masa lalunya. Ada yang mengarsipkannya dalam museum; ada yang membiarkannya membeku dalam monumen batu; ada pula yang menayangkannya ulang dalam bentuk film. Indonesia memilih jalur ketiga: film Pengkhianatan G30S/PKI. Namun di balik layar lebar itu, terselip perdebatan panjang: urgensi, penayangan, dan esensinya. Apakah film ini sekadar propaganda, ataukah ia menjadi cermin retak dari sejarah yang memang retak?

Urgensi pembuatan film itu lahir dari luka. Negara butuh narasi tunggal, sebuah cerita yang bisa menjelaskan kepada rakyat mengapa darah harus tumpah pada malam kelam September 1965. Film pun dijadikan medium ampuh, karena gambar bergerak lebih kuat dari kata, lebih tajam dari arsip, lebih mudah menembus kesadaran massal daripada buku sejarah yang tebal. Di sinilah seni tunduk pada kuasa: kamera bukan lagi sekadar alat dokumentasi, tapi mesin pembentuk ingatan kolektif.

Film G30S/PKI: Antara Urgensi Penayangan, Ingatan Kolektif, dan Esensi yang Tak Pernah Usai
Film G30S/PKI

Penayangannya pun menjadi ritual. Generasi 80-an dan 90-an tumbuh dengan kewajiban menonton film itu setiap akhir September. Televisi berubah menjadi kelas sejarah paksa, ruang tamu keluarga menjelma bioskop propaganda. Anak-anak yang belum paham politik belajar ketakutan dari darah, jeritan, dan bayangan bahwa ada musuh abadi yang harus diwaspadai. Ingatan pun ditanam bukan melalui dialog kritis, melainkan melalui rasa gentar.

Namun pertanyaan esensial muncul: apakah sejarah bisa ditangkap hanya dengan satu film? Bukankah tragedi 1965 lebih rumit dari sekadar pengkhianatan satu pihak terhadap negara? Bukankah ada suara-suara lain yang tak pernah mendapat layar? Di titik inilah film G30S/PKI berubah menjadi paradoks: di satu sisi ia menyelamatkan narasi negara, di sisi lain ia membungkam kemungkinan pluralitas kebenaran.

Meski demikian, menolak film ini mentah-mentah juga berarti mengabaikan fakta bahwa ia telah menjadi bagian dari identitas sejarah bangsa. Film itu adalah dokumen sekaligus artefak politik, jejak bagaimana kuasa berusaha mengendalikan imajinasi publik. Esensinya bukan pada detail faktual semata, tetapi pada bagaimana ia memperlihatkan hubungan mesra sekaligus berbahaya antara seni, sejarah, dan kekuasaan.

Urgensi menayangkan ulang film ini hari ini bukan lagi soal doktrin, melainkan soal membuka ruang dialog. Ia bisa ditonton kembali, bukan untuk ditelan mentah-mentah, melainkan untuk diperdebatkan. Untuk mengingat bahwa sejarah tidak pernah final, dan setiap generasi berhak mempertanyakan versi-versi kebenaran yang diwariskan. Dengan begitu, film ini bertransformasi: dari propaganda menjadi bahan renungan kritis; dari trauma menjadi kesempatan memahami bahwa sejarah adalah arena perebutan makna, bukan museum yang beku.

Akhirnya, esensi film Pengkhianatan G30S/PKI bukan sekadar soal benar atau salah, hitam atau putih, kawan atau lawan. Esensinya terletak pada pertanyaan yang ditinggalkannya: apakah kita berani melihat sejarah sebagai labirin dengan banyak pintu, ataukah kita hanya puas menutup mata pada kegelapan, sambil terus menonton film yang sama setiap tahun tanpa pernah benar-benar mengerti?

Ditulis oleh S. Herianto  


 #FilmG30SPKI #EsaiSejarah #PropagandaDanSeni #RefleksiBangsa #nyastrablog

Posting Komentar untuk "Film G30S/PKI: Antara Urgensi Penayangan, Ingatan Kolektif, dan Esensi yang Tak Pernah Usai"