Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bahasa Kemanusiaan

Ada seorang lelaki tua di sebuah kota kecil yang selalu berbicara dengan bahasa daerahnya. Entah ia bertemu pedagang dari pulau seberang, mahasiswa dari ibu kota, atau turis asing yang kebingungan, lidahnya tak pernah beralih ke bahasa lain. Orang-orang kadang heran, bahkan jengkel: mengapa ia tidak mencoba menyesuaikan diri? Tetapi baginya, setiap kata yang keluar dari mulut adalah denyut jantung, bukan sekadar bunyi yang bisa ditukar.

Aku pernah duduk bersamanya di bangku bambu dekat pasar, menatap bagaimana bibirnya melafalkan kata yang bagi telingaku terasa asing, namun wajahnya—senyumnya—mengatakan sesuatu yang melampaui kata itu sendiri. Ia berbicara dengan mata, dengan raut muka, dengan jeda yang penuh arti. Dan aku merasa mengerti, meski tak sepenuhnya memahami bahasa yang ia pakai.

Bahasa, rupanya, tidak hanya berada di antara huruf dan suara. Ia juga ada di antara denyut tangan yang memberi, dalam tatapan yang lembut, dalam nada yang menghindari kekerasan.

S. Herianto


Bahasa sebagai Identitas

Bahasa daerah, bagi lelaki tua itu, bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah tubuh kedua. Ia adalah pakaian yang tidak bisa ia lepaskan, bahkan di hadapan orang asing. Aku sering bertanya-tanya: apakah keberaniannya mempertahankan bahasa sendiri adalah bentuk perlawanan, atau sekadar kebiasaan yang tak bisa diubah?

Seandainya aku bertanya, mungkin ia akan menjawab dengan sebuah tawa pendek, mengangkat bahu, lalu melanjutkan ucapannya dengan bahasa yang tetap asing di telingaku. Ia tidak merasa perlu menjelaskan. Baginya, bahasa adalah hakikat, bukan sekadar pilihan.

Dan justru di situlah aku belajar: ketika seseorang berbicara dengan bahasa yang ia cintai, ia sedang menegaskan keberadaannya. Seolah berkata: “Aku ada, dan aku ingin kau mengenali aku sebagaimana aku mengenali diriku.”

Bahasa sebagai Dinding

Namun bahasa juga bisa menjadi dinding. Aku teringat pada percakapan di angkringan, ketika seorang pemuda kota menggerutu: “Kalau ketemu orang tua itu, susah sekali. Aku tidak paham sepatah kata pun.” Ia mengeluh, merasa terasing di negerinya sendiri.

Bukankah itu bahaya bahasa? Ia bisa mempertemukan, tapi juga bisa memisahkan. Dalam politik, bahasa lebih sering dipakai untuk menegaskan perbedaan ketimbang merangkul persamaan. Kata-kata manis bisa dipakai untuk menutupi kebohongan. Slogan bisa dipakai untuk membungkam kritik.

Aku teringat pada istilah yang sering muncul: “bahasa persatuan.” Kata itu indah, tetapi di dalamnya tersimpan bahaya: seolah-olah keberagaman harus tunduk pada satu suara tunggal. Padahal, bukankah kepekaan kemanusiaan lahir dari kesediaan mendengar bahasa lain, meskipun kita tidak sepenuhnya paham maknanya?

Pasar yang Multibahasa

Aku kembali ke pasar tempat lelaki tua itu biasa duduk. Bayangkan suasananya: ibu-ibu berteriak dalam bahasa masing-masing menawarkan sayur, anak-anak berlari sambil meniru bunyi perahu, pedagang dari pulau lain menawar ikan dengan logat asing, sementara lelaki tua itu tetap dengan bahasanya sendiri.

Anehnya, semuanya tetap berjalan. Harga bisa disepakati, barang bisa berpindah tangan, dan tawa bisa muncul serentak. Bukankah itu bukti bahwa bahasa bukan hanya soal kata, melainkan juga soal sikap?

Di sela riuh itu, aku menyadari sesuatu: kepekaan kemanusiaan adalah kemampuan menangkap niat baik di balik kata, meskipun kata itu sendiri asing. Lelaki tua itu tidak pernah memaksakan orang lain menguasai bahasanya, ia hanya menggunakannya dengan penuh ketulusan.

Bahasa sebagai Luka

Namun aku juga tidak bisa menutup mata: ada orang yang merasa terpinggirkan karena bahasa. Seorang pemuda pernah berkata padaku: “Kalau aku bicara bahasa daerah di kampus, teman-temanku menertawakan. Mereka bilang aku kampungan.”

Bahasa yang seharusnya menjadi kebanggaan bisa berubah menjadi stigma. Orang malu memakai bahasa ibunya sendiri, seolah-olah ia sedang membawa beban dari masa lalu yang tidak diinginkan.

Aku melihat luka itu di banyak wajah: bahasa daerah yang perlahan hilang, tergantikan oleh bahasa dominan. Setiap kali sebuah kata tidak lagi dipakai, sebuah pintu menuju cara pandang tertentu ikut terkunci. Dan ketika pintu itu terkunci, kita kehilangan sepotong kepekaan kemanusiaan yang berharga.

Bahasa dan Martabat

Lelaki tua itu mengajarkanku bahwa mempertahankan bahasa sendiri juga berarti mempertahankan martabat. Ia tidak peduli apakah orang lain memahami seluruh kalimatnya. Ia percaya, selama ada niat baik, makna akan menemukan jalannya sendiri.

Aku teringat pada kata-katanya, yang meskipun tidak sepenuhnya kumengerti, tetap meninggalkan gema dalam dadaku: bahwa bahasa adalah rumah bagi martabat. Selama seseorang masih bisa berbicara dengan bahasanya sendiri, ia masih memiliki tempat berpijak.

Bahasa Universal

Tetapi bagaimana dengan orang yang tidak mengerti? Apakah mereka akan selalu terasing? Tidak. Aku percaya ada bahasa yang lebih dalam dari kata-kata: bahasa tubuh, bahasa tatapan, bahasa empati.

Aku pernah melihat lelaki tua itu menolong seorang ibu dari luar daerah yang kesulitan mengangkat barang. Ia tidak banyak bicara, hanya mengangkat beban itu, lalu tersenyum. Sang ibu membalas dengan senyum juga. Dua bahasa berbeda, tapi satu rasa.

Itulah bahasa universal: kebaikan. Ia tidak butuh kamus, tidak butuh tata bahasa.

Bahasa dan Kekuasaan

Bahasa juga adalah medan politik. Sejarah mencatat bagaimana bahasa tertentu dipaksakan sebagai standar, sementara bahasa lain dipinggirkan, dianggap tidak modern, tidak layak diajarkan.

Aku ngeri membayangkan jika suatu hari bahasa lelaki tua itu benar-benar punah. Bukan hanya sekadar hilang dari percakapan, tapi juga hilang dari ingatan. Lalu, siapa yang berhak menentukan bahasa mana yang pantas bertahan dan mana yang pantas hilang?

Bahaya homogenisasi bahasa adalah bahaya hilangnya keragaman berpikir. Bila semua orang dipaksa berbicara dengan cara yang sama, dunia menjadi miskin nuansa. Kita kehilangan kemampuan melihat dari sudut pandang lain.

Bahasa sebagai Warisan

Aku sering membayangkan cucu lelaki tua itu. Apakah ia masih akan mendengar dongeng dengan bahasa yang sama? Apakah ia masih akan mengucapkan kata pertama dengan bahasa yang kini kian jarang terdengar di sekolah? Atau ia hanya akan mengenal bahasa itu lewat catatan kaki dalam buku sejarah?

Bahasa adalah warisan yang paling halus, paling rapuh. Ia tidak bisa dijaga dengan pagar atau lemari besi. Ia hanya bisa dijaga dengan dipakai, diucapkan, diwariskan dari mulut ke mulut, dari hati ke hati.

Bahasa yang Menghubungkan

Di akhir semua renungan ini, aku kembali pada satu hal: bahasa adalah jembatan, bukan tembok. Lelaki tua itu membuktikan, meski ia tidak pernah meninggalkan bahasanya, ia tetap bisa hadir bagi orang lain. Ia tidak menutup diri, justru ia membuka ruang untuk orang lain belajar sabar, belajar mendengar, belajar melihat makna di balik kata.

Bahasa yang tak mau menyerah bukanlah bahasa yang keras kepala, melainkan bahasa yang tahu siapa dirinya dan tidak takut untuk tetap setia pada akar. Dan dari kesetiaan itu, lahirlah ruang bagi orang lain untuk belajar kepekaan kemanusiaan.

Aku masih ingat wajah lelaki tua itu: garis-garis hidup di keningnya, suara parau yang seperti datang dari jauh, dan tawa kecil yang tidak pernah sinis. Kata-katanya asing, tapi hatinya akrab.

Dan aku sadar, meskipun aku tak bisa mengulang satu pun kalimatnya, aku membawa pulang sesuatu yang lebih penting: rasa hangat bahwa manusia, pada akhirnya, bisa selalu saling mengerti—selama kita mau mendengarkan bukan hanya kata, tapi juga jiwa di balik kata.

Esai S. Herianto

 

NYASTRA
NYASTRA Penjelajah sastra dunia

Post a Comment for "Bahasa Kemanusiaan"