Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kata yang Membentuk Anak: Politik di Halaman Buku

Di ruang kelas kecil, papan tulis masih berdebu, suara guru mengalun datar. Tetapi yang sesungguhnya mengisi kepala anak-anak bukan hanya suara itu, melainkan kata-kata yang tertera di halaman buku pelajaran. Buku itu, dengan ilustrasi berwarna, menyimpan sesuatu yang lebih halus daripada rumus berhitung atau nama pahlawan: ia menyimpan bahasa politik yang tak kasatmata, menyusup ke kesadaran anak-anak yang polos.

Aku teringat bagaimana dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, kami diminta menghafal slogan-slogan yang berbunyi gagah, meski tak sepenuhnya kami mengerti. “Pancasila jiwa kita, pembangunan cita kita.” Kata-kata itu terdengar seperti mantra. Kami mengucapkannya tanpa bertanya, sebab tidak ada ruang untuk bertanya. Bahasa politik masuk begitu saja, menjelma doktrin, lalu perlahan berubah menjadi sifat patuh dalam diri kami.

Kata yang Membentuk Anak: Politik di Halaman Buku
Indonesia baik-baik saja ?

Bahasa yang Dibelokkan

Bahasa politik tidak pernah hadir sebagai dirinya sendiri. Ia selalu datang dengan selimut moral, nasionalisme, atau bahkan agama. Anak-anak SD diberi bacaan yang seolah netral: kisah pahlawan, cerita kebersamaan, kisah rajin belajar. Tetapi di balik itu, terselip kata-kata yang menanamkan satu pesan: “patuhlah pada negara, percayalah pada pemimpin.”

Apakah salah? Belum tentu. Tetapi di sinilah bahayanya: anak-anak yang masih rapuh menerima bahasa itu tanpa daya kritis. Kata-kata yang berulang dalam buku pelajaran menjelma seperti kebenaran mutlak. Mereka tumbuh dengan sifat percaya buta, tanpa pernah diajari bagaimana mempertanyakan.

Bahasa politik, bila masuk terlalu dini, bukan mendidik, melainkan menundukkan.

Ruang Kelas Sebagai Laboratorium Kekuasaan

Sekolah seharusnya menjadi ruang di mana anak-anak belajar berpikir. Tetapi sering kali ia justru menjadi laboratorium kekuasaan. Kata-kata dalam buku pelajaran disusun bukan hanya untuk mengajar, melainkan juga untuk mengendalikan.

Lihatlah buku pelajaran sejarah yang menyingkirkan bagian-bagian tertentu. Peristiwa politik yang penuh luka dipadatkan hanya dalam satu paragraf. Nama tokoh tertentu dijulang tinggi, sementara yang lain dihapus. Anak-anak tidak pernah tahu bahwa sejarah adalah ruang penuh tafsir. Mereka hanya tahu satu versi: versi yang diinginkan oleh penguasa.

Dengan cara ini, bahasa politik menanamkan sifat tertentu: anak-anak belajar lebih dulu untuk diam, bukan untuk bertanya.

Dari Kata ke Sifat

Seorang anak yang setiap hari membaca bahwa pemimpin selalu benar akan tumbuh dengan sifat tunduk. Ia tidak belajar mengkritik, hanya belajar menerima.

Seorang anak yang setiap hari membaca bahwa rakyat selalu bahagia di bawah kuasa negara akan tumbuh dengan sifat berpura-pura. Ia akan terbiasa menelan perasaan sendiri, lalu mengulang kata-kata indah yang kosong.

Bahasa politik bukan sekadar kumpulan kalimat; ia adalah pabrik sifat. Dari kata lahirlah karakter, dan dari karakter lahirlah bangsa yang penurut atau pemberontak, tergantung apa yang ditanamkan.

Politik yang Menyamar Jadi Pelajaran

Aku membaca sebuah buku pelajaran sekolah dasar edisi lama. Di sana tertulis kisah anak desa yang rajin membantu program pemerintah. Kalimatnya manis, seolah mengajarkan gotong royong. Tetapi jika dibaca dengan teliti, ada pola tersembunyi: setiap cerita selalu berakhir dengan pujian kepada program negara. Seakan-akan kebajikan tidak lahir dari hati, tetapi dari perintah kekuasaan.

Inilah politik yang menyamar menjadi pelajaran.

Seperti Orwell menulis: bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur. Dan buku sekolah dasar adalah ladang subur untuk menanam kebohongan itu, sebab anak-anak tidak mungkin menolaknya.

Luka Kolektif yang Tersembunyi

Kita sering heran mengapa bangsa ini tumbuh dengan sifat takut bertanya, takut berbeda pendapat, takut salah bicara. Mungkin jawabannya ada di buku pelajaran masa kecil kita. Dari sana kita belajar bahwa ada kata-kata yang tak boleh dipertanyakan, ada kalimat yang harus dihafal, ada jawaban tunggal yang selalu benar.

Bahasa politik dalam buku sekolah telah menanamkan luka kolektif: kehilangan keberanian untuk bertanya.

Dari Indonesia ke Dunia

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia.

Di Jerman Nazi, buku sekolah dasar diisi dengan kisah-kisah yang menekankan keunggulan “ras Arya.” Anak-anak diminta menghafal puisi yang menyebut bangsa lain sebagai rendah. Bahasa itu membentuk sifat kebanggaan palsu sekaligus kebencian.

Di Uni Soviet, buku pelajaran penuh dengan pujian pada Stalin. Cerita anak-anak yang rajin bekerja selalu diakhiri dengan kalimat: “seperti yang diajarkan Bapak Stalin.” Bahasa itu membuat anak-anak tumbuh dengan sifat memuja pemimpin.

Di Korea Utara hari ini, buku sekolah penuh dengan kisah kehebatan keluarga Kim. Anak-anak belajar membaca melalui slogan politik. Bahasa itu menutup ruang kritis, mengubah sifat polos anak menjadi kepatuhan mutlak.

Dan di Indonesia, kita pun punya jejak serupa. Pada masa Orde Baru, buku pelajaran sejarah menghapus tragedi politik tertentu, menyisakan hanya satu versi. Kata “G30S/PKI” menjadi mantra yang ditanamkan sejak SD, membentuk sifat takut dan curiga, bahkan hingga generasi berikutnya.

Bahasa Sebagai Warisan Sifat

Bahasa politik yang masuk ke buku sekolah tidak hanya mengubah sifat individu, tetapi juga mewariskannya ke generasi. Anak-anak yang tumbuh dalam bahasa doktrin akan menjadi orang dewasa yang mewariskan doktrin itu pada anak mereka sendiri.

Bahasa menjadi semacam rantai yang mengikat sifat bangsa. Butuh keberanian besar untuk memutus rantai itu: keberanian untuk menulis ulang buku pelajaran dengan bahasa yang jujur.

Antara Mendidik dan Mengendalikan

Sekolah memang perlu mengajarkan cinta tanah air. Tetapi cinta tanah air berbeda dengan pemujaan buta. Yang pertama lahir dari pengetahuan, yang kedua lahir dari doktrin.

Bahasa politik yang masuk ke buku SD sering melewati batas itu. Ia tidak hanya mengajarkan, tetapi juga mengendalikan. Anak-anak diajari untuk mencintai tanah air dengan cara yang hanya satu: versi penguasa. Mereka tidak diajari bahwa cinta tanah air juga bisa berarti berani mengkritik agar tanah air lebih adil.

Bahasa, sekali lagi, menentukan sifat: apakah anak tumbuh menjadi warga yang kritis, atau hanya penonton yang patuh.

Refleksi: Manusia sebagai Hasil Kata

Aku sering membayangkan: mungkin kita semua adalah hasil dari kata-kata yang kita hafalkan di masa kecil. Sifat patuh, sifat takut, bahkan sifat pura-pura—semua bisa jadi adalah warisan dari buku sekolah yang kita baca.

Mungkin inilah mengapa bangsa ini sering tampak ragu: ingin jujur tapi takut, ingin berani tapi segan. Kita adalah generasi yang sejak kecil diberi bahasa yang menundukkan.

Tetapi jika benar bahasa bisa mengubah sifat, maka bahasa juga bisa menyembuhkan sifat. Buku sekolah bisa ditulis ulang, bukan untuk menghapus kritik, melainkan untuk menyalakan keberanian bertanya.

Penutup: Menulis Bahasa Baru

Aku membayangkan sebuah buku sekolah dasar yang bahasanya jujur. Buku yang tidak menutup sejarah kelam, tidak melebih-lebihkan pemimpin, tidak memuja dengan buta. Buku yang mengajarkan anak-anak untuk bertanya: mengapa sesuatu bisa terjadi, siapa yang diuntungkan, siapa yang disingkirkan.

Buku yang bahasanya tidak menanamkan rasa takut, tetapi menumbuhkan keberanian.

Jika bahasa politik telah mengubah sifat kita menjadi penurut, mungkin sudah saatnya kita menulis bahasa baru: bahasa yang membebaskan.

Karena pada akhirnya, sifat bangsa dimulai dari kata-kata kecil yang dibaca anak-anak di ruang kelas. Dan bila kita ingin sifat bangsa ini berubah, kita harus berani mengubah bahasanya.


Posting Komentar untuk "Kata yang Membentuk Anak: Politik di Halaman Buku"